Selasa, 26 Juni 2012

The Truth About Forever - Chapter 8 : Aren't You Scared?

Pagi-pagi benar, Ify sudah keluar dari kamarnya untuk menengok Rio. Rio ternyata masih tertidur. Ify memegang dahi Rio, dan panasnya sudah turun walaupun masih sedikit hangat. Ify menghela napas lega, lalu memerhatikan sekelilingnya.



Ify menatap tumpukan pakaian kotor di pojokan kamar Rio, seketika itu juga keluarlah lampu bohlam yang bersinar terang dari kepala Ify, ia mendapat ide. Ify segera keluar dari kamar Rio, menyiapkan empat ember besar yang berisi air di kamar mandi, lalu memboyong semua pakaian kotor Rio dan mencelupkannya ke dalam ember itu.



Sementara pakaian Rio sedang direndam, Ify membersihkan kamar Rio. Dia membuang semua botol-botol air mineral, dan menyapu lantainya. Ify melakukan semuanya dalam diam, takut kalau-kalau kegiatannya membangunkan Rio.

Ify mengintip ransel Rio yang sudah kosong. Ify mendelik pada Rio yang masih mendengkur.



"Dasar pemalas. Jadi, nggak punya baju lagi, kan," omelnya, lalu melanjutkan menyapu.



Namun, tiba-tiba...



"Lo... ngapain?" tanya Rio lemah, yang ternyata terbangun karena kesibukan Ify.



"Nggak liat? Nyapu dong," kata Ify cuek sambil terus menyapu.



Rio menatap Ify lama, dia merasa tenggorokannya kering. Rio berusaha menggapai botol air mineral di sampingnya, tetapi karena tubuhnya masih terlalu lemah, tangannya tak sampai. Tahu-tahu Ify mengambil botol itu dan menyodorkannya pada Rio. Ketika tangan Rio terulur, Ify menarik botol yang ada di tangannya lagi.



"Aku nggak denger kata 'tolong', lho," kata Ify sambil nyengir jahil. Rio menatapnya sebal, kemudian kembali berbaring.



"Nggak jadi," kata Rio.



"Ya udah," balas Ify, sengaja meletakkan botol itu di atas meja yang jauh dari jangkauan Rio. Rio menatap sengit Ify yang malah bersiul-siul riang.



"Tolong," kata Rio yang akhirnya menyerah juga.



Ify menoleh dan nyengir. Dia mengambil botol itu dan menyerahkannya pada Rio.



"Gimana, udah baikan? Masih pusing?" tanya Ify sementara Rio minum.



"Lumayan," jawab Rio sambil kembali merebahkan kepalanya. Dia masih sedikit pusing, ditambah lagi dia masih lemas.



Ify mengangguk-angguk, lalu melanjutkan menyapu. Rio melirik ke arah salah satu sudut dari kamarnya yang tampak berbeda dari biasanya. Mata Rio membesar, menyadari bahwa setumpuk pakaian kotornya sudah hilang dari sana.



"Loh... ke mana baju-baju gue?" tanya Rio bingung.



"Aku cuci. Kamu nggak sadar, ya, kalo kamu udah nggak punya baju lagi? Dasar jorok," kata Ify. "Dan, asal kamu tau, baju yang kamu pake sekarang itu punya mendiang ayahku. Nanti kalo kamu udah sembuh harus dicuci terus dibalikin."



Rio memerhatikan baju yang sedang dipakainya. Dia baru sadar kalau itu memang bukan miliknya. Pantas saja terasa agak kebesaran di badannya. Dia kembali memerhatikan Ify yang sekarang sedang membereskan meja.



"Lo... nggak takut?" tanya Rio membuat Ify menoleh. Ify lalu tersenyum.



"Kenapa harus takut?" balas Ify. Dia bangkit. "Aku nyuci bajumu dulu, ya. Inget, ntar kamu harus bayar ongkos laundry. Kamu emang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa."



Ify keluar kamar Rio sambil bernyanyi-nyanyi. Rio menatap langit-langit kamarnya. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini semenjak dia mengidap penyakitnya.



"Kamu emang sakit, tetapi bukan berarti kamu istimewa."



Rio tersenyum. Seandainya saja semua orang seperti Ify.



Setelah selesai mencuci pakaian Rio yang minta ampun banyaknya, Ify segera bergegas berangkat kuliah. Rio telah membuatnya lupa kalau dia memiliki tugas presentasi. Untung saja, dia sampai di kampus tepat waktu.



Sebelum berangkat tadi, Ify sudah menyiapkan makanan untuk Rio dengan menggunakan piring kertas. Ify sengaja membeli dua lusin piring kertas supaya tidak lagi membuang-buang mangkuk.



Sekarang, Ify sedang makan di kantin karena setelah ini dia masih memiliki satu kelas lagi. Ify tidak sadar kalau sedari tadi Sivia memerhatikannya.



"Ify?" panggil Sivia, tetapi Ify sedang sibuk memikirkan menu apa yang akan dia masak untuk Rio nanti malam. "Ify?"



"Hm?" gumam Sivia.



"Alyssa Saufika!" sahut Sivia sambil mengguncang bahu Ify. Ify akhirnya tersadar.



"Kenapa, sih, Vie?" tanya Ify kaget.



"Dari tadi gue panggilin nggak dijawab!" sahut Sivia kesal.



"Oh, sori, deh," jawab Ify menyesal. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai melupakan kehadiran Sivia.

"Kenapa, Vie?"



"Ng... itu," ucap Sivia berhati-hati. "Apa bener... Rio kena HIV?"



Ify menatap Sivia lama. Ify memang belum sempat menceritakan perihal penyakit Rio pada Sivia. Tetapi, sepertinya

Sivia memiliki pemikiran yang cukup terbuka. Ify kemudian mengangguk pelan. Sivia tampak menahan napasnya.



"Terus... gimana?" tanya Sivia lagi.



"Hm... sampe saat ini, sih, dia nggak kenapa-napa. Cuma semalem dia demam gara-gara kehujanan..."



"Bukan itu," potong Sivia cepat, dan sukses membuat Ify mengernyit. "Gimana dengan... lo? Apa lo nggak takut?"



Ify terdiam, lalu tersenyum.



"Awalnya, sih, aku emang takut. Tapi, Vie, rasa takutku nggak seberapa dengan rasa sakit hati yang dia alami," kata Ify pelan. "Dia sendirian, Vie."



"Jadi... lo cuma kasihan?" tanya Sivia lagi, membuat Ify lagi-lagi terdiam.



"Kalo dibilang kasihan..." Ify tak meneruskan kata-katanya, berpikir.



"Kalo dibilang kasihan...?" desak Sivia. Ketika Ify tak kunjung menjawab, Sivia menghela napas. "Lo suka sama dia,

ya, Fy?"



Namun, Ify lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat dekatnya itu. Sivia memegang tangan Ify, lalu menatap mata Ify dalam-dalam.



"Ify, apa lo udah siap sama semua risikonya? Kalo lo suka sama dia, itu berarti lo harus siap ada di samping dia terus!

Kalo ternyata lo cuma kasihan sama dia, mendingan lo jangan kasih dia harapan! Karena kalo dia udah terlanjur berharap sama lo, tapi ternyata lo sendiri masih ragu sama keputusan yang udah lo buat, dia malah akan terlukai oleh harapannya sendiri," ujar Sivia bijak membuat Ify menatapnya. "Fy, mungkin ini terdengar kejam, tapi kata-kata dia waktu kalian berdua di pantai itu bukan cuma asal-asalan ngomong. Kalian emang nggak punya masa depan. Lo tau sendiri penderita HIV bisa gimana nantinya, kan?"



"Aku... aku sayang sama dia, Vie," kata Ify, buliran-buliran kristal cair sudah mulai menggenangi pelupuk matanya dan tinggal menunggu waktu untuk jatuh.



"Tapi, Fy, sayang aja nggak akan cukup! Sekarang, mungkin dia masih keliatan baik-baik aja. Tapi, apa lo nggak mikir, gimana keadaan dia lima tahun mendatang? Kalo ternyata nanti lo nggak kuat, dan ninggalin dia di masa yang sulit kayak gitu, apa lo pikir dia nggak bakal menderita lebih dari yang dia rasakan sekarang?" tanya Sivia lagi membuat Ify terisak.



Sivia menggenggam tangan Ify lebih erat.



"Ify, kalo lo nggak yakin, jangan lo terusin. Lo jangan nerima keadaan dia karena kasihan. Gue yakin, kok, dia pasti juga nggak mau lo kasihanin. Ya, kan, Fy?" kata Sivia lagi.



Ify masih terisak. Dadanya sakit memikirkan kebenaran dari kata-kata Sivia.



***





Ify terduduk lemas di depan monitor warnet. Dia menggerakkan mouse dan meng-klik situs mesin pencari. Dia kemudian mengetik kata kunci "penyakit HIV", dan kemudian menghasilkan ribuan hasil pencarian. Ify meng-klik salah satu link dan membaca artikel yang ada.



Air mata Ify jatuh satu per satu seiring dengan banyaknya artikel yang dibacanya. Rata-rata dari artikel-artikel tersebut berkata bahwa pengidap HIV hanya memiliki waktu sepuluh tahun sebelum virusnya berkembang menjadi penyakit AIDS. Setelah itu, pengidap penyakit itu akan mengalami penurunan berat badan, diare berketerusan, dan berbagai penyakit lain. Dan pada tahap itu pula, penyakit ringan sekalipun dapat mengancam nyawa penderita AIDS.



Ify membekap mulutnya ketika melihat gambar seorang penderita AIDS tahap akhir yang ada di salah satu website. Orang itu tampak sangat mengenaskan, dengan hanya meninggalkan tulang dan kulit yang sudah dipenuhi oleh bercak merah. Dan, hidup orang itu hanya berusia dua puluh tahun saja. Ify benar-benar tidak bisa membayangkan Rio, suatu saat nanti, dalam keadaan seperti itu.



Sampai saat ini, belum ditemukan obat bagi penderita AIDS. Yang ada hanya obat untuk menghambat penyebaran virus. Setelah itu, Ify menemukan artikel yang membahas tentang obat yang diminum Rio, yang ditemukannya beberapa hari yang lalu, tetapi ternyata obat itu harus diminum secara teratur, karena jika tidak, virus akan dengan mudah menjadi resisten (kebal). Tidak diminum sekali saja, pengobatan harus diulang dengan peningkatan dosis peminuman.



Ify teringat pada Rio yang tampak tidak peduli pada obatnya yang sudah habis. Kalau terus begitu, virus yang ada di tubuh Rio akan menjadi resisten. Rio bahkan tidak berminat untuk pergi ke rumah sakit dan meminta obat lagi.



Mata Ify tiba-tiba membesar ketika dia membaca pengakuan dari penderita AIDS yang ditolak di rumah sakit-rumah sakit karena alasan yang tidak dapat diterima akal sehat. Rumah sakit tersebut menganggap penderita AIDS sebagai kuman yang dapat mengotori rumah sakit itu.



Sekarang, Ify tahu mengapa Rio enggan pergi ke rumah sakit. Mungkin dia sudah kehilangan kepercayaan pada pihak rumah sakit karena pernah ditolak.



Ify menatap kedua tangannya yang gemetar. Dia tidak pernah menyangka kalau hidup akan membawanya menemukan seorang Mario Stevano. Dan, sekarang Ify tidak tahu harus berbuat apa.





***





Ify berjalan hampa di depan kamarnya, dia melirik kamar Rio yang tampak sudah terang. Rio mungkin sudah bisa berdiri. Ify mengetuk pintu kamar Rio, kemudian melangkah masuk. Tapi ternyata Rio masih terbaring di kasurnya, tertidur. Ify menghela napas, teringat pada jemuran yang masih tergantung di lantai atas. Ify segera naik untuk mengambil jemuran.



Ify mengambili pakaian Rio yang sudah kering sambil melamun. Pikirannya melayang pada kata-kata Sivia tadi siang. Ify melihat sweter-sweter Rio yang ada di dekapannya. Dia kemudian jatuh terduduk sambil memeluk sweter Rio erat-erat, dan mulai menangis lagi.



Ify benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk Rio.





***



Ify sedang membolak-balik baju-baju Rio ketika Rio terbangun. Dia duduk, lalu menatap Ify. Ify balas menatapnya sambil berusaha tersenyum. Tapi Rio tidak balas tersenyum, dia memerhatikan mata Ify yang sembab.



"Udahlah. Lo nggak usah bantu-bantu gue lagi," ujar Rio kemudian. "Lo nggak usah ngerasa bertanggung jawab."

Ify terdiam, lalu ia tertawa pelan.



"Kamu ngomong apaan, sih, Yo?" tanya Ify sambil meneruskan membalik baju.



"Mata lo sembab. Lo pasti nyesel udah kenal sama gue, kan?" tanya Rio lagi.



"Oh, ini ya?" tanya Ify sambil memegang matanya. "Aku cuma kurang tidur, kok. Kamu, sih, nyusahin aku aja."



Ify tertawa kecil, ia kemudian bangkit.



"Aku ambil setrika dulu, ya," katanya, lalu segera keluar kamar Rio dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesampainya di

kamar, dia langsung jatuh terduduk dan menangis lagi sambil mendekap kedua lengannya, mencoba menenangkan tangannya yang gemetar.



Ify merasa sudah menjadi orang yang jahat karena telah ragu akan perasaannya. Ify juga sudah berbohong pada Rio dengan mengatakan bahwa dirinya tidak takut. Ify juga sudah memutuskan untuk menemani Rio. Tapi pada akhirnya, Ify masih ragu, dan dia tidak tega mengatakan yang sebenarnya pada Rio.



Ify terisak, menyesali dirinya yang tidak bisa tegar.



Dan ternyata, tanpa sepengetahuan Ify, Rio ada di depan pintu kamarnya, mendengar setiap isakannya.



Rio tersenyum miris. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu tidak akan ada orang yang tahan dengannya, dengan penyakit yang dideritanya. Dari awal, dia sudah tahu, tetapi dia menolak untuk menerimanya. Dia setengah mati berharap Ify adalah orang yang akan menyelamatkan dirinya dari kesepian dan kelam hidupnya, tetapi ternyata pikirannya salah.



Tidak ada satu pun orang yang bisa menyelamatkannya.





***



Keesokan paginya,



Ify membuka pintu kamarnya, lalu melirik pintu kamar Rio. Semalam, ketika Ify akan kembali untuk menyetrika baju-baju Rio, kamar itu sudah gelap dan pintunya terkunci.



Ify menghela napas, lalu mengunci pintu kamarnya dan bergerak turun. Hari ini dia ada kuliah pagi. Begitu sampai di bawah, Ozy terlihat sedang makan pisang kesukaannya sambil duduk-duduk di teras kost.



"Kuliah pagi, Fy?" tanya Ozy basa-basi, dan hanya dijawab Ify dengan senyuman lemah. Ozy mengernyit. "Ya ampun, kalian ini. Pada lemes-lemes banget. Tadi pagi Rio juga gitu. Ditanyain mau ke mana, eh, malah ngeloyor aja kayak mayat hidup."



Mata Ify membesar mendengar kata-kata Ozy.



"Rio udah pergi?" tanyanya.



"Iya, kira-kira setengah jam yang lalu," jawab Ozy. "Dia kok akhir-akhir ini tambah aneh, ya? Mana nggak pernah makan malem bareng, lagi."



Tapi, Ify tak menggubris kata-kata Ozy. Dia beranjak menuju garasi dan mengeluarkan motor, lalu segera meluncur ke jalan, meninggalkan Ozy yang ngomel-ngomel kayak emak-emak karena merasa tidak pedulikan.





***



"Oi, Yo! Ke mana aja lo?" tanya Alvin begitu matanya menangkap sosok Rio yang sudah menunggunya di kafetaria. Rio sendiri tak menjawab, membuat Alvin menatapnya bingung. Alvin lantas duduk di depannya. "Yo? Lo kenapa, sih?"



"Vin, gue berpikir buat pindah kost secepatnya," kata Rio membuat Alvin bengong. Namun, kemudian dia terlihat maklum.



"Kenapa? Cewek itu udah makin serius?" tanya Alvin.



"Dia udah tau soal penyakit gue," kata Rio membuat Alvin menganga.



"Terus? Dia... ngejauhin lo?" tanya Alvin hati-hati, yang kemudian dibalas Rio dengan gelengan kepala.



"Lebih gampang kalo gitu, Vin," jawab Rio sambil memainkan kemasan air meneral gelas yang ada di tangannya. "Ini malah sebaliknya."



Alvin terdiam sesaat setelah mendengar kata-kata Rio. Dia sama sekali tidak percaya akan pendengarannya.



"Dia nggak ngejauhin lo? Jadi... dia nerima lo?" tanya Alvin lagi.



"Nerima...," gumam Rio sambil tertawa miris. "Lebih tepatnya, dia kasihan sama gue. Dia pikir, dia cukup kuat buat

ngebantu gue."



"Tapi?" tanya Alvin tak sabar.



"Tapi, dia sama aja dengan yang lain. Dia nggak kuat. Gue denger dia nangis di kamarnya semalem," kata Rio lagi.

"Gue... gue nggak mau dia terpaksa nerima gue, Vin."



Alvin menatap Rio, paham dengan perasaan Rio.



"Beberapa waktu lalu, dia bilang dia mau nemenin gue. Tapi sekarang, setelah dia sadar kalo dia ternyata nggak cukup kuat buat ngelakuin itu, dia malah ngerasa bertanggung jawab," ujar Rio. "Gue nggak bisa ngeliat dia susah payah merhatiin gue, Vin."



"Karena itu, gue mau pindah secepatnya. Karena udah terlalu berat buat gue ketemu sama dia setiap hari," kata Rio lagi, matanya menerawang hampa. "Udah terlalu berat."



Alvin kembali menatap temannya itu lama.



"Rio, gue usulin lo selesaikan dulu masalah lo sama dia. Jangan main kabur aja. Kalo ternyata omongan lo sekarang cuma sugesti lo, lo bakalan nyesel karena udah kehilangan orang yang peduli sama lo," kata Alvin membuat Rio

terkekeh.



"Vin, kalo pun bener begitu, itu emang udah risiko gue. Dari awal harusnya gue nggak pernah memulai semua ini," kata Rio.



"Oke. Itu risiko lo. Tapi, apa lo berpikir sama buat dia? Kalo ternyata dia bener-bener peduli sama lo dan lo tiba-tiba pergi gitu aja, lo pikir gimana perasaannya?" tanya Alvin lagi. Rio terdiam sebentar.



"Kalo gitu, suatu saat dia pasti bersyukur karena nggak jadi mengalami masa-masa suram bareng gue," jawab Rio, menutup pembicaraan.



Alvin sudah tak bisa berkata apa pun lagi pada temannya itu.





***



Sudah beberapa hari ini, Rio selalu menghindari Ify. Dia selalu bangun dan berangkat lebih pagi, dia juga pulang larut malam di saat Ify sudah tertidur. Rio benar-benar tidak ingin bertemu dengannya.



Ify juga bukannya tidak sadar. Dia sadar betul Rio sedang menghindarinya. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, tapi Rio belum juga pulang. Ify melirik kamar Rio yang masih gelap.



Ify menghela napas, tidak mengetahui penyebab Rio kembali menjadi pemarah. Saat Ify berbalik, ia mendapati Rio yang sedang naik tangga. Rio langsung membatu melihat Ify berdiri di depan kamarnya. Hari ini sepertinya dia salah perkiraan.



"Hei! Ke mana aja kamu beberapa hari ini?" tanya Ify sambil nyengir. Rio menatapnya lama, namun kemudian dia kembali meneruskan perjalanan menuju kamarnya tanpa menjawab. "Kamu sibuk ngapain, sih, Rio? Kamu punya

temen, ya, di sini?" tanya Ify lagi.



Rio melewati Ify tanpa banyak bicara. Dia mengorek saku celananya dan menemukan kunci. Rio membuka pintu kamarnya sementara Ify masih di belakangnya, menunggu jawaban. Rio menghela napas lalu berbalik.



"Nih," kata Rio sambil mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyodorkannya pada Ify yang bengong. "Ini uang buat laundry, bubur, obat, sama apalah kemaren itu. Gue nggak suka ngutang."



Ify melongo sambil memegang uang itu, membuat Rio mengernyit.



"Kenapa? Kurang?" tanya Rio lagi sambil kembali mengorek dompetnya, tetapi tangannya segera dipegang Ify. Rio menatap cewek itu yang sudah akan menangis.



"Nggak perlu," kata Ify dengan suara tercekat. Dia menyurukkan uang itu ke tangan Rio. "Aku nggak ngerasa kamu utangin, kok."



"Tapi gue ngerasa ngutang. Lo mau gue bayar pake apa kalo nggak mau uang?" tanya Rio membuat Ify melongo.



"Aku... aku nggak mau dibayar pake apa pun," jawab Ify lagi sambil menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menahan tangis.



"Oh? Kemaren lo bilang gue harus bayar," kata Rio lagi.



"Kemaren, aku cuma bercanda," ucap Ify. "Kamu nggak harus bayar apa pun."



"Denger, ya," kata Rio sambil mendekati Ify dan menatapnya tajam. "Apa lo ngerasa kalo lo itu dewi penyalamat?

Mau berbuat baik dengan nolongin gue, gitu? Tapi, gimana ya, gue nggak mau utang budi sama lo. Jadi, mending lo

bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."



Ify sadar setetes air mata sudah jatuh di pipinya, dan dia segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Rio. Sekarang, dia sangat membenci Rio dengan segala sikap menyebalkannya itu.



"Rio, kalo kamu emang bener-bener ngerasa utang budi, bayar dengan perubahan sikap kamu," kata Ify tegas.

"Mulai sekarang, jangan pernah ngomong hal-hal kasar lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"



Rio menatap Ify lama. Ify membalasnya berani. Rio kemudian terkekeh, membuat Ify bingung.



"Lo pinter banget, ya," ujar Rio, masih tertawa pelan. Namun, kemudian dia berhenti tertawa dan menatap Ify tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi aktris bukan penulis."



Ify menatap Rio tak percaya sementara Rio bergerak menuju kamarnya. Sebelum dia masuk ke dalam kamarnya, dia menoleh pada Ify yang masih membatu.



"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan membanting pintu.



Ify masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya menetes dan kakinya tak lagi kuat untuk menopang tubuh mungilnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata mengalir deras.



Ify tak bisa membalas perkataan Rio. Dia tahu Rio benar. Selama ini, Ify begitu munafik di depan Rio, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu. Orang seperti Ify tidak akan layak untuk menemani Rio. Ify tahu betul akan hal itu.



Bukan salah Rio jika dia mengatakan kalau selama ini kebaikan Ify hanya akting. Ify sadar, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya merasa sesakit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar